hay para readers ,kisah mentiko bertuah ini adalah cerita rakyat dari aceh, Cerita ini mengisahkan tentang pengembaraan Rohib, seorang anak raja dari Kerajaan Aceh, yang diusir oleh ayahnya karena tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya. Rohib mengembara dari satu kampung ke kampung lainnya sebagai pedagang dengan menyusuri hutan belantara. Uang yang dipakai untuk berdagang tersebut adalah pemberian ayahnya, namun dengan satu syarat, uang itu tidak boleh habis kecuali untuk modal berdagang. mungkin kita langsung saja mulai cerita nya readers ,selamat membaca!
pada zaman dahulu di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja yang
kaya-raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena kedermawanannya.
Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun menikah dengan
permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin punya keturunan, Raja
itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai yang airnya sangat dingin
untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai seorang anak yang kelak akan
mewarisi tahta kerajaan.
Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk menuju
ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai-sungai,
serta mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat dengan membawa bekal
secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana, mereka mulai melaksanakan maksud
dari kedatangan mereka. Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka
pun kembali ke istana.
Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka
terkabul. Permaisuri diketahui telah mengandung satu bulan. Delapan bulan
kemudian, Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan diberinya nama
Rohib. Raja sangat gembira menyambut kelahiran putranya itu, yang selama ini
diidam-idamkannya. Raja kemudian memukul beduk untuk memberitahukan kepada
seluruh rakyatnya agar berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya, Raja
menyampaikan bahwa ia hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas
rahmat Tuhan yang telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya,
selamatan pun dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.
Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan penuh
kasih sayang. Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu tumbuh menjadi
anak yang sangat manja. Waktu terus berlalu, Rohib pun bertambah besar. Rohib
kemudian dikirim oleh orang tuanya ke kota untuk belajar di sebuah perguruan.
Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan dari ayahnya agar belajar dengan tekun.
Setelah itu, ia pun berpamitan kepada orang tuanya. Sudah beberapa tahun Rohib belajar,
Rohib belum juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena sudah terbiasa manja.
Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin menghukumnya, ketika ia
kembali ke istana.
“Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala!
Sudah tidak mau mendengar nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai
mati!” perintah sang Raja. Mendengar perintah suaminya kepada pengawal,
Permaisuri pun segera bersujud di hadapan suaminya.
“Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon,
Rohib jangan dihukum mati. Berilah ia hukuman lainnya!” pinta sang Permaisuri
kepada suaminya.
“Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!” jawab sang Raja dengan
geramnya.
“Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan syarat,
Kakanda bersedia memberinya uang sebagai modal untuk berdagang,” usul sang
Permaisuri.
“Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang yang aku
berikan kepada Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk berdagang,” jawab
sang Raja.
“Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.
“Baiklah, Bunda! Rohib
bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!” jawab Rohib.
“Jika kamu melanggar
lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!” tambah Raja menegaskan kepada
putranya itu.
Setelah itu, Rohib
berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi berdagang. Ia pergi dari satu
kampung ke kampung dengan menyusuri hutan belantara. Di tengah perjalanan, ia
bertemu dengan anak-anak kampung yang sedang menembak burung dengan ketapel.
“Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu, karena
burung itu tidak berdosa.” tegur si Rohib kepada anak-anak itu.
“Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami,” bantah salah
seorang dari anak-anak kampung itu.
“Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang,”
tawar Rohib.
Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.
Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan perjalanannya.
Belum jauh berjalan, ia menemukan lagi orang-orang kampung yang sedang memukuli
seekor ular. Rohib tidak tega melihat perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian
memberikan uang kepada orang-orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu.
Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri hutan lebat menuju ke
sebuah perkampungan. Demikian seterusnya, selama dalam perjalanannya, ia selalu
memberi uang kepada orang-orang yang menganiaya binatang, sehingga tanpa
disadarinya uang yang seharusnya dijadikan modal berdagang sudah habis.
Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika ia pulang
ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya. Apalagi ia
telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya tidak akan
mengampuninya lagi. Oleh karena kelelahan seharian berjalan, ia pun memutuskan
untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Ia kemudian duduk di
atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon itu sambil menangis
tersedu-sedu. Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya. Rohib
sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.
“Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu,” kata ular itu. Melihat ular itu
dapat berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.
“Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?” tanya si Rohib
mulai akrab.
“Aku adalah Raja Ular di hutan ini,” jawab ular itu.
“Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?” ular itu balik bertanya kepada
si Rohib.
“Aku adalah si Rohib,” jawab Rohib, lalu menceritakan semua masalahnya dan
semua kejadian yang telah dialami selama dalam perjalanannya.
“Kamu adalah anak yang baik, Hib,” kata Ular itu dengan akrabnya.
“Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang
kampung yang menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima
kasihku,” tambah ular itu lalu kemudian mengeluarkan sesuatu dari
mulutnya.
“Benda apa itu?” tanya si Rohib penasaran.
“Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta, pasti
akan dikabulkan. Namanya Mentiko Betuah,” jelas Ular itu, lalu
pergi meninggalkan si Rohib.
Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Mentiko Betuah itu.
“Waw, hebat sekali benda ini. Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan
ayah,” gumam Rohib dengan perasaan gembira. Berbekal Mentiko Betuah itu,
Rohib memberanikan diri kembali ke istana untuk menghadap kepada ayahnya.
Namun, sebelum sampai di istana, terlebih dahulu ia memohon kepada Mentiko
Betuahagar memberinya uang yang banyak untuk menggantikan modalnya yang
telah dibagi-bagikan kepada orang-orang kampung, dan keuntungan dari hasil
dagangannya. Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang telah membawa
uang yang banyak dari hasil dagangannya. Akhirnya, Rohib diterima kembali oleh
ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati. Semua itu berkat pertolongan Mentiko
Betuah, pemberian ular itu.
Setelah itu, Rohib berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Mentiko
Betuah itu agar tidak hilang. Suatu hari, ia menemukan sebuah cara,
yaitu ia hendak menempanya menjadi sebuah cincin. Lalu dibawanya Mentiko
Betuah itu kepada seorang tukang emas. Namun tanpa disangkanya, tukang
emas itu menipunya dengan membawa lari benda itu. Oleh karena Rohib sudah
bersahabat dengan hewan-hewan, ia pun meminta bantuan kepada mereka. Tikus,
kucing dan anjing pun bersedia menolongnya. Anjing dengan indera penciumannya,
berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah melarikan diri ke seberang
sungai. Kini, giliran si Kucing dan si Tikus untuk mencari cara bagaimana cara
mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas. Pada tengah
malam, si Tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung si Tukang Emas yang
sedang tertidur. Tak berapa lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Mentiko
Betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus
segera mengambil benda itu.
Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada
Rohib, si Tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko
Betuah terjatuh ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di
dalam mulutnya. Pada saat kedua temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia
segera menghadap kepada si Rohib. Dengan demikian, si Tikuslah yang dianggap
sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan si Anjing merasa
sangat bersalah, karena tidak berhasil membawaMentiko Betuah. Ketika
diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Mentiko Betuahnya, yang
dibawa oleh si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si Tikus telah
melakukan kelicikan.
Menurut masyarakat setempat, bahwa berawal dari cerita inilah mengapa tikus
sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.
Related Posts